Dalam isyarat Nabi
tentang nikah, ialah sunnah teranjur yang memuliakan. Sebuah jalan suci
untuk karunia sekaligus ujian cinta-syahwati. Maka nikah sebagai ibadah,
memerlukan kesiapan dan persiapan. Ia tuk yang mampu, bukan sekadar mau. “Ba`ah”
adalah parameter kesiapannya. Maka berbahagialah mereka yang ketika
hasrat nikah hadir bergolak, sibuk mempersiapkan kemampuan, bukan
sekadar memperturutkan kemauan.
Persiapan nikah hendaknya segera membersamai datangnya baligh, sebab makna asal “ba`ah” dalam hadis itu adalah “kemampuan seksual”. Imam Asy-Syaukani dalam Subulus Salam, Syarh Bulughul Maram, menambahkan makna “ba`ah” yakni: kemampuan memberi mahar dan nafkah. Mengompromikan “ba`ah” di makna utama (seksual) dan makna tambahan (mahar, nafkah), idealnya anak lelaki segera mandiri saat baligh.
Jika kesiapan nikah diukur dengan “ba`ah”,
maka persiapannya adalah proses perbaikan diri yang tak pernah usai. Ia
terus seumur hidup. Izinkan saya membagi persiapan nikah dalam 5 ranah:
ruuhiyyah (spiritual), ‘ilmiyyah (pengetahuan), jasadiyyah (fisik), maaliyyah (finansial), ijtimaa’iyyah (sosial).
Persiapan nikah perlu start
awal. Salim nikah usia 20 tahun, tapi karena persiapannya dimulai umur
15 tahun, maka tak bisa disebut tergesa. Sebaliknya, ada orang yang
nikahnya umur 30 tahun, tapi persiapan penuh kesadaran baru dimulai umur
29,5 tahun. Itu namanya tergesa-gesa.
Kita mulai dari yang pertama; persiapan ruuhiyyah. Ialah yang paling mendasar. Segala persiapan nikah lainnya berpijak pada yang satu ini. Persiapan ruuhiyyah
(spiritual) ada pada soal menata diri menerima ujian dan tanggung jawab
hidup yang lebih berlipat, berkelindan. Surat Ali Imran ayat 14:
Sebelum nikah ujian kita linear: pasangan hidup. Begitu nikah
berjejalin: pasangan, anak, harta, gengsi, investasi.
Sebelum nikah, grafik
hidup kita analog dengan amplitudo kecil. Setelah menikah, ia digital
variatif; kalau bukan NIKMAT, ya MUSIBAH. Maka termakna jua dalam
persiapan ruuhiyyah
terkait nikah adalah kemampuan mengelola SABAR dan SYUKUR menghadapi
tantangan-tantangan itu. SABAR dan SYUKUR itu semisal tentang pasangan;
ia keinsyafan bahwa tak ada yang sempurna. Setiap orang memiliki lebih
dan kurangnya.
Khadijah itu lembut,
penyabar, penuh pengertian, dan dukung penuh perjuangan. Tetapi tak
semua lelaki mampu beristri jauh lebih tua. Aisyah: cantik, cerdas,
lincah, imut. Tetapi tak semua lelaki siap dengan kobar cemburunya yang
sampai banting piring di depan tamu.
Persiapan ruuhiyyah
nikah adalah mengubah ekspektasi menjadi obsesi. Dari harapan akan apa
yang diperoleh, menuju yang apa akan dibaktikan. Jika nikah masih
terbayang: lapar ada yang masakin, capek ada yang mijitin, baju kotor dicuciin.
Itu ekspektasi. Bersiaplah kecewa. Ekspektasi macam itu lebih tepat
dipuaskan oleh tukang masak, tukang pijit, dan tukang cuci. Berobsesilah
dalam nikah. “Apa obsesimu?”
Obsesi sebagai persiapan ruuhiyyah
nikah semisal: Bagaimana kau akan berjuang sebagai suami/istri ayah/ibu
untuk mensurgakan keluargamu? Usai itu, di antara persiapan ruuhiyyah nikah adalah menata ketundukan pada segala ketentuan-Nya dalam rumah tangga dan masalah-masalahnya.
Lalu persiapan ‘ilmiyyah tsaqafiyyah (pengetahuan) nikah, meliput banyak hal semisal fikih, komunikasi pasangan, parenting, manajemen, dsb. Bukan Ustadz pun, tiap Muslim
harus sampai pada batas minimal lmu syar’i yang dibutuhkan dalam
berhidup, berinteraksi, berkeluarga. Lalu tentang komunikasi pasangan;
seringnya masalah rumah tangga bukan karena ada maksud jahat, melainkan
maksud baik yang kurang ilmu nikah.
Sungguh harus diilmui
bahwa lelaki dan perempuan diciptakan berbeda dengan segala kekhasannya,
untuk saling memahami dan bersinergi. Contoh beda hadapi masalah dan
tekanan; Wanita: berbagi, didengarkan, dimengerti. Lelaki: menyendiri,
kontemplasi, rumuskan solusi.
Bayangkan jika
perbedaan itu dibawa dalam sikap dengan asumsi: “Aku mencintaimu seperti
aku ingin dicintai”. Konflik pasti meraja. Suami pulang dengan masalah
berat disambut istri yang memaksa ingin tahu dan dengar problemnya,
padahal ia ingin sendiri dan bersolusi.
Lihatlah Khadijah saat
Muhammad pulang dari Hira’ dengan panik dan resah. Dia tak bertanya,
dia sediakan ruang sendiri dan kontemplasi. Sebaliknya, istri yang
sedang ingin didengar lalu curhat ke suami, suami malah tawarkan solusi.
Padahal dia hanya ingin dimengerti. Istri: Mas aku capek, rumah berantakan bla bla bla. Suami: OK, kita cari pembantu. Istri: Oh, jadi aku dianggap pembantu?! Suami: Lho, kok…?!
BEDA lagi: Suami single tasking, bisa marah kalau istrinya yang multitasking
memintanya kerjakan beberapa hal berrangkai-rangkai. BEDA lagi: istri
sering berkalimat tak langsung yang tak difahami suami. Istri: Mas,
Salma belum dijemput, aku masih harus masak! Jawab suami: Oh, kalau gitu
biar nanti Salma pulang sendiri. Dijamin para istri gondok, sebab
maksudnya: Tolong jemput Salma!
BEDA. Bagi suami
masalah harus disederhanakan (spiral ke dalam). Bagi istri, tiap detail
dan keterkaitan sangat penting (spiral keluar). Dan banyak lagi BEDA
yang jika tak diilmui potensial jadi masalah serius. Lengkapnya di
Bahagianya Merayakan Cinta.
Parenting. Waktu kita
sempit; belum puas belajar jadi suami/istri, tiba-tiba sudah jadi
ayah/ibu. Maka segeralah belajar jadi orangtua. Anak adalah karunia yang
hiasi hidup, amanah (lahir dalam fitrah, kembalikan ke Allah dalam
fitrah), pahala, sekaligus fitnah (ujian). Maka mengilmui hingga
detail-detail kecil soal parenting adalah niscaya. Hadis: Renggutan
kasar pada bayi membekas di jiwa.
Uji kecil buat calon
ibu dan ayah: “Apa yang Anda lakukan saat anak lari-larian di depan
rumah lalu GABRUSS, jatuh berdebam?” LAZIM: “Sudah dibilang, jangan
lari-lari! Tuh, jatuh kan!” Anak belajar untuk menganggap dirinya selalu
bersalah dalam hidupnya. LAZIM: “Iih, batunya nakal ya Nak! Sini Ibu
balaskan!” Anak belajar salahkan keadaan sekitar untuk excuse
dari kurangnya ikhtiyar. LAZIM: “Hmm, nggak apa-apa, nggak sakit, cuma
kayak gitu!” Ketakpekaan. Hati-hati dibalas saat kita sudah tua dan
sakit-sakitan. Alangkah bahaya tiap huruf dari lisan bagi masa depan
anak kita. Latihlah dia agar lempang (tanpa dusta dan tipu) dalam takwa
(Q.s. an-Nisaa` [4]: 9).
Kita masuk persiapan jasadiyyah
(fisik) untuk nikah. Ini juga perkara penting sebab terkait dengan
keamanan, kenyamanan, dan ketenangan. Awal-awal, periksa dan
konsultasilah ke dokter atas termungkinnya segala penyakit tubuh,
lebih-lebih yang terkait kesehatan reproduksi. Pernikahan itu utuh di
segala sisi diri, maka menjalani terapi dan rawatan tertentu untuk
membaikkan fisik adalah juga hal yang utama.
Fisik kita dan
pasangan bertanggung jawab lahirkan generasi penerus yang lebih baik.
Maka perbaiki daya dan staminanya sejak sekarang. Perbaiki pola asup,
tata gizi seimbang. Allah akan mintai tanggung jawab jajan sembarangan
jika ia jadi sebab jeleknya kualitas penerus.
Bangun kebiasaan olahraga ilmiah; tak asal gerak tapi membugarkan, menyehatkan, melatih ketahanan. Tugas fisik berlipat 3 setelah nikah. Jadi, target persiapan fisik nikah itu 3 tingkatan, PRIMER: sehat dan aman penyakit; SEKUNDER: bugar dan tangkas; TERSIER: beauty dan charm.
Bangun kebiasaan olahraga ilmiah; tak asal gerak tapi membugarkan, menyehatkan, melatih ketahanan. Tugas fisik berlipat 3 setelah nikah. Jadi, target persiapan fisik nikah itu 3 tingkatan, PRIMER: sehat dan aman penyakit; SEKUNDER: bugar dan tangkas; TERSIER: beauty dan charm.
Selanjutnya, persiapan maaliyyah
(finansial), ini yang paling sering menghantui dan membuat ragu
sepertinya. Padahal ianya sederhana. Yang tepat bicara persiapan maaliyyah ini sebenarnya Ust. Ahmad Gozali, izinkan Salim lancang singgung sedikit dengan ilmu yang dangkal.
Konsep awal; tugas
suami adalah menafkahi, BUKAN mencari nafkah. Nah, bekerja itu keutamaan
dan penegasan kepemimpinan suami. Ingat dan catat. Persiapan finansial
menikah sama sekali TIDAK bicara tentang berapa banyak uang, rumah, dan
kendaraan yang harus Anda punya. Persiapan finansial menikah bicara
tentang kapabilitas hasilkan nafkah, wujudnya upaya untuk itu, dan
kemampuan kelola sejumlah apa pun ia. Maka memulai pernikahan, BUKAN
soal apa Anda sudah punya tabungan, rumah, dan kendaraan. Ia soal
kompetensi dan kehendak baik menafkahi.
Ali ibn Abi Thalib
memulai nikah bukan dari nol, melainkan minus: rumah, perabot, dan lain
sebagainya dari sumbangan kawan dihitung utang oleh Nabi. Tetapi Ali
menunjukkan diri sebagai calon suami kompeten; dia mandiri, siap bekerja
jadi kuli air dengan upah segenggam kurma. Maka sesudah kompetensi dan
kehendak menafkahi yang wujud dalam aksi bekerja—apa pun ia—iman
menuntun: nikah itu buat kaya (Surat An-Nuur ayat 32). Agak malu, Salim
juga minus saat nikah; utang yang terencanakan terbayar dalam 2 tahun
menurut proyeksi hasil kerja saat itu. Tetapi Allah Mahakaya, dan nikah
menjadi pintu pengetuknya. Hadirnya istri menjadi penyemangat; utang itu
selesai dalam 2 bulan.
Buatlah proyeksi nafkah nikah secara ilmiah dan executable,
JANGAN masukkan pertolongan Allah dalam hitungan, tapi siaplah dengan
kejutan-Nya. Kemapanan itu tidak abadi. Saya memilih nikah di usia 20
saat belum mapan agar tersiapkan istri untuk hadapi lapang maupun
sempitnya. Bahkan ketidakmapanan yang disikapi positif menurut
penelitian Linda J. Waite (Psikolog UCLA), signifikan memperkuat ikatan
cinta.
Ketidakmapanan yang
dinamis menurut penelitian Karolinska Institute Swedia, menguatkan
jantung, meningkatkan angka harapan hidup. Karolinska Institute:
kemapanan lemahkan daya tahan jantung terhadap serangan. Di Swedia,
biasanya yang kena infark langsung wafat.
Persiapan nikah yang sering terabai ialah yang kelima ini: ijtimaa’iyyah
(sosial). Pernikahan adalah peristiwa yang kompleks secara sosial.
Sebuah pernikahan yang utuh punya visi dan misi kemasyarakatan untuk
menjadi pilar kebajikan di tengah kemajemukan suatu lingkungan. Untuk
itu, mereka yang akan menikah hendaknya mengasah keterampilan sosialnya
jauh-jauh hari, sekaligus sebagai bagian pendewasaan. Membiasakan
mengomunikasikan prinsip-prinsip yang diyakini terkait pernikahan dan
kehidupan kepada orangtua bisa jadi bagian dari latihan.
Prinsip Al-Qur`an tentang hubungan dengan orangtua ialah ‘persahabatan’, wa shaahibhumaa
(Surat Luqman ayat 15). Gunakan itu untuk dewasakan diri. Maka kadang
Salim menilai kedewasaan kawan yang ingin menikah dengan keberhasilannya
untuk komunikasikan prinsip pada orangtua secara makruf. Persiapan
kemasyarakatan: kumpulkan modal sosial sebanyak-banyaknya; bahasa, ilmu
sosio-antropologis, kelincahan organisasi, dsb.
Pernikahan kita harus
hadir sebagai pengokoh kebajikan masyarakat, bukan beban ataupun
pelengkap-penderita. Utama lagi, jadi pelopor. Mulailah dengan
perkenalan berkesan pada lingkungan. Saat walimah nanti; tetangga rumah
tinggal setelah nikah adalah yang paling berhak diundang. Jika harus
pindah tempat tinggal, mulai jaga dengan perkenalan. Para tokoh: datangi
silaturahim. Masyarakat umum: undang tasyakuran.
Setelah itu, target
besarnya adalah menjadikan pintu rumah kita sebagai yang paling pertama
diketuk saat masyarakat sekitar memerlukan bantuan. Tentu berat
menopangnya sendiri. Maka yang harus kita punya bukan hanya ASET,
melainkan juga AKSES. Bangun jaringan saling menguatkan. Ilmuilah
bagaimana cara menguruskan jaminan kesehatan miskin, beasiswa tak mampu,
biaya RS, mobil jenazah gratis, dsb DEMI TETANGGA KITA.
Tampillah sebagai yang
penting dan bermanfaat dalam hajat-hajat kebahagiaan maupun duka
tetangga, juga rayaan-rayaan sosial-masyarakat. Tampillah sebagai yang
terbaik sejangkau suai kemampuan; imam masjid, muadzin, guru TPA,
bendahara RT, ketua RW, pendoa jenazah, dst. Tampillah sebagai yang
paling besar kontribusi dalam kebaikan-kebaikan sosial: agustusan,
syawalan, kerja bakti, arisan, pengajian, dst. Ringkas kata untuk
persiapan sosial nikah ini adalah bermampu diri utk menjadi pribadi dan
keluarga yang AMAN, RAMAH, BERMANFAAT.
0 komentar:
Posting Komentar